Tidak Semua Hal Bisa Dipaksa untuk Terus Diperjuangkan
- Pixabay
Gorontalo – Malam kian dekat peraduannya. Darwis dan Arimi masih nyaman diam-diaman di sudut kedai kopi kecil dekat kampus.
“Terus gimana?” kata Darwis membuka percakapan setelah hampir satu jam diam-
diaman.
“Kamunya yang gimana!” jawab Arimi.
“Setelah nikah, kita punya tanggungan lebih besar. Harus beli rumah, kenderaan, biaya hidup sehari-hari, belum kalau sudah punya anak. Biaya segitu bisa jadi modal hidup setelah nikah!” kata Darwis.
“Gak usah bertele-tele. Nikah aja belum. Kamu mikirnya kejauhan. Pokoknya, kalau sampai Februari kamu belum juga datang, maaf, terpaksa aku terima pinangan orang lain!” timpal Arimi.
Darwis dan Arimi memang mengatur janji bertemu. Setiap kali bertemu topiknya selalu sama; tentang pernikahan. Topik yang tidak terhitung lagi berapa kali mereka bahas.
Keduanya hidup terbentang jarak ratusan kilometer. Dipertemukan oleh studi di kampus yang sama pada tahun 14 tahun silam. Mereka pacaran sejak semester dua. Tidak terhitung lagi berapa kali mereka bertengkar, berapa kali putus nyambung, berapa banyak biaya untuk pacaran, dan berapa banyak misi terselubung saat lagi berduaan.
Keduanya memang selaras dalam rasa, tapi tak sama cara pandang. Terlebih soal pernikahan. Sejak lima tahun lalu, saat keinginan menikah itu muncul, hingga sekarang rencana itu terhalang tembok besar ego dan gengsi. Biaya nikah terlampau tinggi pengaruh citra keluarga besar di belakang.
Darwis berpandangan syarat menikah paling utama bukanlah biaya, melainkan kesiapan mental dan menata niat. Harus siap untuk meletakkan mental di atas berbagai macam masalah, keruwetan-keruwetan, dan aneka problema. Bukan tergantung pada kemampuan finansial, usia pacaran, atau syarat-syarat lain.
Pandangan seperti ini selalu mental di hadapan sikap Arimi yang suka mendramatisir keadaan. Suka membanding-bandingkan hubungan mereka dengan pasangan lain.Harap-harap rencana berjalan mulus, perdebatan justru mengalir terus.
Selepas menebar ancaman, Arimi pergi. Entah ke mana punggungnya berlalu. Darwis tidak bergeming. Hanya memegangi gagang gelas kopi di meja. Aneh! Belum juga mencicipi mie instan dan roti bakar yang dipesan, Darwis terserang rasa mulas.
Dinyalakan sebatang rokok lalu buru-buru ke toilet. Sudah kebiasaannnya kalau buang air besar harus ngerokok.
Darwis tercenung. Kedua tangannya menopang kepala yang tertunduk lesu. Menyelami lagi kalimat bernada ancaman yang keluar dari mulut pacarnya barusan. Kata-kata itu bagaikan derai hujan yang jatuh di aspal berdebu. Menghapus semuamimpi yang sudah terawat hampir bertahun-tahun. Kesal, kecewa, marah, mengalir menuju muara air mata Darwis yang jarang keluar.
Kini, kata-kata Arimi bukan hanya menghapus mimpi, tetapi merajam segala ambisi yang belum terwujud. Melesat lebih kuat daripada tembakan salvo mana pun hingga menghilangkan rasa mulas di perut.
Sebatang rokok di tangan hampir habis, Darwis bergegas bersih-bersih. Di cermin toilet, muncul wajah Arimi, mengganti separuh badannya yang berdiri kaku.
“Aargghh!!!” Darwis menggeram. Rasa-rasanya cermin itu mau ditinju biar nanti darah gantinya. Beruntung ada pengunjung yang datang. Emosi yang sudah di ubun-ubun tertimbun rasa malu.
Sekembalinya dari toilet, seleranya makannya hilang. Kedua tangannya dilipat di atas meja. Tatapannya begitu tajam ke jalan. Diambil ponsel dari saku celana. Gelas kopi di meja di foto lalu dijadikan status WhatsApp lengkap dengan caption patah hati.
“Meminjam judul buku yang ditulis sahabatku: Selain Mendoakanmu, Aku Bisa Apa?” tulisnya.
Terlihat Arimi membaca status itu, tapi justru orang lain yang mengomentarinya. Orang itu Budi, sahabatnya waktu SMA. Kini mengajar di pesantren.
“Cukur saja breokmu, kalau ‘lelakimu’ masih bisa dikoyak-koyak cinta! Sharelock, Bro!” tulis Budi mengomentari status tersebut.
Setengah jam kemudian Budi tiba dengan dua bungkus rokok di atas meja.
“Kalau kurang bilang!”
Layaknya dua laki-laki yang sudah lama tak berjumpa, mereka larut dalam obrolan. Tawa diantara mereka menyapu bersih seluruh sudut kedai yang mulai sunyi.
Obrolan melompat jauh dari pekerjaan ke sesi curhat gara-gara Budi mengorek status Darwis di story WatsApp. Darwis sebenarnya enggan membahasnya. Namun, dia juga tak bisa berbohong butuh teman curhat. Setidaknya bisa membantu menyeduh gaduh di hati menjadi teduh dalam diri.
Diceritakanlah semua ke Budi. Emosinya meletup-letup. Sepanjang cerita batinnya bak terbelah dua. Mulutnya berujar ke Budi, matanya menjarah sunyi di seberang jalan.
“Seandainya waktu bisa diretas, saya ingin tahu bagaimana ujung dari hubungan ini!” kata Darwis.
“Bung, lihat pengunjung kedai di sekeliling kita. Tiba waktu habis, mereka akan pulang setelah membayar tagihan. Sama kayak kita. Sebentar lagi fajar memberitahu pagi telah tiba. Itu tandanya kita harus pulang, menghentikan drama ini,” jawab Budi.
“Hah? Maksudnya?” Kali ini sorot mata Darwis tertuju pada Budi.
“Lebih tepatnya istirahat, Bung.” Budi terkekeh.
“Bud, masalahnya hubungan ini sudah bertahun-tahun, tapi belum juga putus di pelaminan. Kalah sama yang baru sebulan, dua bulan pacaran bisa langsung nikah. Lah, saya, yang cita-citanya cuma nabung untuk nikah bisa apa?” bantah Darwis tidak sepakat.
Budi cuma geleng-geleng kepala.
“Wis, cinta bukan seberapa lama kita bersama, tapi ke mana arah pastinya. Sekarang ente mau bikin apa? Ngutang di bank? Mencuri? Atau mau jadi koruptor? Ente mau jadi Bandung Bondowoso yang bisa bikin candi dalam semalam? Hidup sebenarnya itu bukan dimulai saat kita bisa memenuhi segala tetek bengek di pesta nanti. Hidup sebenarnya dimulai saat bangun pagi sesudah malam pertama. Saya sepakat dengan (cara berpikir) kamu.”
“Tapi?” tanya Darwis lebih serius.
“Tapi memaksakan diri itu tidak baik. Tidak semua di dunia ini bisa dipaksakan untuk kita perjuangkan. Ada saatnya kita memperjuangkan sesuatu cukup seadanya saja. Bukan berarti kalah. Tugas kita berikhtiar, hasilnya urusan Tuhan. Istirahat dulu. Kumpul lagi tenaga untuk sesuatu yang lebih pantas diperjuangkan!”
“Bagaimana kalau nanti saya di cap pacar tidak becus, nggak modal, PHP, atau apalah itu?” jawab Darwis lagi.
“Bung, sebaik apa kita di dunia, kita punya jatah bangsatnya di mata orang lain!”
“Februari sebentar lagi datang. Kalau benar dia terima pinangan orang lain, gimana?”
“Ya, diterima, diikhlaskan. Ikhlas itu berat, tapi mulia. Sehebat apapun kamu berjuang, kalau Tuhan bilang tidak, ya, tidak. Tapi sehebat apa kalian bertengkar terus berpisah, Tuhan punya 1001 cara untuk mempertemukan lagi. Lagipula, betapa ruginya orang yang merasa sedih karena seekor ikan tangkapannya lepas di tengah lautan.”
Darwis terdiam, meratapi kopi yang tandas di dasar gelas.
“Kenapa lagi?” tanya Budi.
“Anu, Bud, saya bingung!”
“Bingung kenapa?”
“Si-siapa yang bayar pesanan ini?”
“Owalah!” Keduanya kembali terbahak.