Diskon untuk Anak Kecil dari Tuhan
- Bess Hamiti/ Pexel
Gorontalo – Agus terlihat memarahi anaknya selepas salat Jumat. Penybabnya adalah jamaah lain protes karena merasa terganggu dengan tingkah laku anaknya yang bermain saat khotbah berlangsung.
“Kalau lagi di masjid itu duduk, diam, dengerin khotib bicara. Bukan main lari-lari. Ganggu jamaah lain saja!!!” kata Agus saat memarahi anaknya yang masih berumur lima tahun usai salat Jumat. Dan pemandangan tersebut terlihat oleh Budi.
Selepas anaknya pulang, Agus diajak Budi bersantai di selasar masjid. Kopi dan kue tersedia menemani waktu santai sembari menunggu waktu Ashar.
“Gus, tidak baik bentak anak kecil seperti itu. Ditegurlah baik-baik,” kata Budi. Dengan nada keras.
Agus menimpalinya.
“Tidak bisa begitu. Kalau dibiarkan nanti terbiasa. Nggak sopan itu namanya. Saya yang nggak enak sama ente, sama jamaah lain.”
“Lho, kenapa?” tanya Budi.
“Ente kan, lagi khotbah terus anakku lari-lari. Nanti dikira saya ndak becus awasi anak di masjid,” jawab Agus kesal.
Budi tersenyum lalu berdiri menghampiri seorang tukang. Tidak lama, dia kembali menyandarkan tubuhnya ke tembok.
“Bud, ente kan, ketua takmir, kenapa nggak bikin aturan kalau Jumatan jangan bawa anak kecil ke masjid?” tanya Agus.
“Maksudmu apa?”
“Ya, biar orang dewasa nggak keganggu. Kayak masjid tetangga,” kata Agus.
“Saya tidak sependapat. Lebih baik lari-lari di masjid daripada lari-lari di diskotik, to?” bantah Budi.
“Mana ada anak kecil ke diskotik, Bud?”
Budi terkekeh mendengar jawaban sahabatnya itu.
“Gus, ente mau larang anak-anak main di masjid apa ngelarang anak-anak ke masjid, sih?”
Pertanyaan tersebut membuat Agus kebingungan dengan idenya sendiri. Dia tidak mengira bakalan ditanya balik seperti itu.
“Gus, anak yang lari-lari itu bahasanya tidak nakal, tapi lucu. Harusnya di apresiasi. Senakal-nakalnya anak kecil, lebih nakal orang tuanya,” lanjut Budi.
“Saya, sebenarnya, bukan melarang anak-anak ke masjid, tapi bermain di masjid sampai mengganggu jamaah lain itu yang saya khawatirkan. Kalau terbiasa anak-anak malah jadi tidak sopan, kan?”
Argumen tersebut justru memantik tawa di wajah Budi.
“Apanya yang lucu?” tanya Agus.
“Ente yang lucu. Sok-sokan ngajarin anak sopan santun, ente sendiri nggak sopan sama anak kecil.”
Agus agak heran Budi bilang begitu.
“Itu namanya pengajaran, Bud. Gitu aja nggak tau! Mana ada orang tua harus sopan sama anak-anak?”
“Pengajaran atau penghajaran?” jawab Budi. Sekakmat, Agus terdiam.
Diskusi siang itu tampaknya akan segera berakhir. Budi memperbaiki duduknya. Diseruput lagi kopi dan kembali melanjutkan serangan.
“Sekarang aku tanya, anak kecil lari-lari itu haram, tidak? Tidak, kan? Malah orang tuanya yang bentak itu yang haram karena sudah mukallah (terbebani hukum islam), sudah tua salah langkah yaitu membentak.”
“Mukallah itu apa?” Suara Agus mulai memelan.
“Terbebani hukum islam. Justru karena itu, orang tuanya sudah kena khitab, sementara anak-anak belum. Masa gitu aja nggak tau.”
“Maksudnya, Bud?” Agus makin kebingungan.
“Orang tua itu suka keliru memaksa anaknya sopan. Padahal, Tuhan memberi diskon: anak kecil itu belum wajib sopan. Nggak apa-apa lari-lari di masjid. Asal masih anak kecil lho, ya? Dalam Islam tidak ada keharusan bagi tiga orang. Pertama, anak kecil sampai baligh. Kedua, orang tidur sampai dia bangun. Ketiga, orang gila. Artinya, anak kamu nggak kena khittab, ente yang kena khittab,” kata Budi.
“Oh, begitu, ya?” tanya Agus tersipu.
“Dulu, ada riwayat. Ketika Rasulullah sujud, Hasan Husen itu naik ke punggung beliau. Semua riwayat mengatakan Nabi itu diam saja. Sampai ada sahabat yang menengok. Dari situ ditemukan riwayat ‘Oh ada cucunya naik punggung nabi.’ Seandainya tidak ada (sahabat) yang ‘nakal’ riwayat ini ndak ditemukan,” Jelas Budi.
“Setelah itu nabi beri penjelasan begini: ‘Aku tadi harusnya mengakhiri sujud sesuai aturan umum, tapi ada cucu saya. Saya biarkan sampai dia puas naik punggunggku. Sehingga dia turun, baru saya angkat.”
Agus tidak bisa lagi membantah. Sikapnya yang tadinya ngotot, seakan kehilangan otot.
“Terus saya harus gimana, Bud?” tanya dia.
“Tergurlah baik-baik. Jangan samakan ketika ente menegur orang dewasa dengan menegur anak kecil. Kalau mau ditegur jangan di masjid lah,” jawab Budi.
“Kenapa?”
“Filosofi riwayat tadi begini. Anak kecil itu: satu belum kena khitab. Dua jangan sampai salat itu jadi trauma. Seandainya Nabi bentak cucunya gara-gara salat, lama-lama cucunya trauma dengan salat karena dianggap problem. Sama kayak di bentak di masjid, anak kecil bisa trauma dengan masjid.”
Entah apa lagi yang mesti dilakukan untuk menutupi rasa malunya. Kopi dan gorengan juga sudah habis. Agus cuma tercenung, sementara Budi masih sempat-sempatnya melancarkan serangan akhir.
“Lagipula orang itu hanya suka gaya-gayaan. Marahin anak-anak berisik saat khutbah, padahal kalau nggak diramein anak-anak orang dewasa pada tidur.”
Agus terperanjat.
“Nyindir saya, ya, Bud?”
Diolah dari ceramah Gus Baha