Kasus Perempuan Keukeuh Nikahi Pacarnya Meski Dianiaya Contoh Stockholm Syndrom
- VIVA Gorontalo
VIVA Gorontalo – Baru-baru ini beredar berita seorang perempuan bernama Eka Wahyu Lestari (23) yang dianiaya oleh pacarnya Fika Andrean Banjarnahor (21).
Eka diketahui mendapat 16 tusukan, karena bertengkar dengan pacarnya.
Meskipun telah menjadi korban kekerasan, Eka memaafkan Andrean dan meminta kepolisian untuk membebaskan pacarnya itu.
Tidak hanya itu, Eka berniat menikahi Andrean yang membuatnya hampir meregang nyawa tersebut, karena alasan mereka akan segera menikah.
Eka bahkan menyebut, Andrean tidak bersalah karena tidak berniat membunuhnya.
"Sebenarnya dia tidak ada acara pembunuhan berencana atau dia ingin membunuh saya. Itu hanyalah pertengkaran biasa," kata Eka dilansir dari detikJatim, Jumat (14/7/2023).
Apa yang dilakukan Eka merupakan sebuah sindrom yang disebut stockholm.
Apa itu stockholm syndrom dan dampaknya? Simak artikel berikut.
Mengenal Stockholm Syndrom
Secara rasional, seorang individu yang terluka atas perbuatan individu lain akan berusaha melepaskan atau menjauh dari individu yang membuatnya terluka tersebut.
Namun beberapa individu yang terlibat dalam hubungan yang tidak sehat dan sering mendapat kekerasan, justru akan sulit meninggalkan pasangannya.
Banyak teori yang telah dikemukakan oleh ilmuan terkait kondisi ini, salah satunya stockholm syndrom yang digagas oleh Graham, dkk pada 1995.
Berdasarkan teori stockholm syndrom, korban kekesaran dari suatu hubungan, akan kesulitan untuk melarikan diri dari pelaku.
Hal ini terjadi karena adanya paradoks psikologis, yaitu keadaan yang membuat korban terikat dengan pelaku kekerasan dalam satu hubungan.
Ikatan yang dimaksud merupakan perasaan cinta terhadap pelaku.
Akibatnya, korban akan melindungi pelaku. Tidak hanya itu, korban juga akan menyangkal bahwa telah mendapatkan perliku ataupun kekerasan dari pelaku.
Bahkan tak segan-segan, korban akan berusaha melindungi pelaku.
Mengapa Korban Memilih Bertahan?
Meskipun telah menjadi korban kekerasan baik psikis maupun fisik, individu yang menjadi korban dalam suatu hubungan toxic akan sulit keluar atau meninggalkan pasangannya.
Ini terjadi karena pelaku memanipulasi korban.
Pasangan yang menjadi pelaku, akan memanipulasi dengan cara menunjukkan perasaannya kepada korban.
Sehingga korban akan tersentuh dan tertarik secara emosional terhadap pelaku.
Korban manipulatif tidak akan pernah sadar bahwa ia telah dimanipulasi, kecuali kesadaraan itu muncul dari dirinya sendiri.
Terlebih lagi, korban akan sangat bergantung pada pelaku.
Apa yang Harus Dilakukan?
Jika berada di kondisi seperti ini, apa yang harus dilakukan?
1. Sadari bahwa pelecehan, kekerasan baik fisik maupun psikis, tidak pernah dibenarkan dalam alasan apapun.
Seorang yang benar-benar mencintai pasangannya, tidak akan melakukan hal-hal yang menyakiti pasangannya.
2. Konsultasikan masalah ini ke teman baikmu, atau orang yang bisa dipercaya misalnya mencari bantuan profesional untuk membantumu lepas dari hubungan tersebut.
3. Belajar mencintai diri sendiri. Biasanya, orang-orang yang berada dalam hubungan toxic, cenderung tidak menyadari bahwa ia kurang mengerti akan dirinya sendiri.
Tak jarang mereka justru tidak mencintai dirinya sendiri, karena terlalu disibukkan dengan pasangannya yang toxic.
Oleh sebab itu, mencintai diri sendiri adalah salah satu cara untuk bisa lepas dari hubungan yang tidak sehat.
4. Berani mengambil keputusan. Cara untuk keluar dari hubungan tidak sehat, dengan meninggalkannya.
Jangan takut mengambil langkah ini, karena akan memutuskan lingkaran setan.