Kedatangan Kedua Soekarno di Gorontalo Bawa Pulang Burung Maleo
- koleksi keluarga Kepala Daerah Sulawesi Utara, Syam Biya.
Gorontalo – Bukan hanya sekali Soekarno datang ke Gorontalo. Setelah kedatangan pertama pada 20 November 1951, sang putra fajar mengunjungi daerah yang sama enam tahun kemudian atau tahun 1957.
Saat itu muncul pergolakan yang menguji sejauh mana nasionalisme rakyat yaitu pemberontakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi. Gorontalo disebut-sebut sebagai basis Permesta.
Itu sebabnya, Soekarno harus mengulang kembali safari ke Timur Samudra Sulawesi. Soekarno tiba pada Selasa 1 Oktober 1957 setelah mengunjungi Makassar dan Manado.
Pukul 13.15 waktu setempat pesawat yang membawanya tiba di lapangan udara Desa Tolotio, Kecamatan Isimu, Gorontalo. Terik siang membakar semangat rakyat yang menyambutnya saat itu.
Bupati Gorontalo utara Thariq Modanggu menceritakan peristiwa itu yang dia dengar langsung dari mendiang bapaknya, Zubair Modanggu.
“Di Isimu, dia (Soekarno) datang dengan 40 wartawan luar negeri, bukan hanya dari Indonesia,” kata Thariq Modanggu (51).
Dalam buku digitalnya, BPCB menceritakan kedatangan Soekarno disambut riak-riak pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jauh lebih meriah dari kedatangan pertama.
Ribuan rakyat dan siswa Sekolah Rakyat berjejer sepanjang ruas jalan Tolotio sampai Telaga. Lambaian bendera merah putih kecil mengiringi mobil tumpangan Soekarno.
Keharuan pecah ketika sang Presiden membalasnya dengan melambaikan tongkat komando ke arah pendukung. Soekarno memilih beristirahat sepanjang sore di kamar utama rumah dinas Kepala Daerah Sulawesi Utara.
Keesokan harinya, Rabu 2 Oktober 1957, rapat umum (tertutup) di Gedung Nasional. Sebelum berpidato, Soekarno lebih dulu mencari sahabatnya, Nani Wartabone yang ternyata duduk paling belakang ruangan. Soekarno lekar memintanya pindah ke baris depan. sementara di halaman rumah dinas Kepala Daerah Sulawesi Utara, rakyat tidak sabar mengikuti rapat raksasai. Tidak lama kemudian, Soekarno naik podium.
Masih terang di ingatan Thariq, sesuai cerita ayahnya bagaimana heroiknya seorang Soekarno “menggulung” poster dan spanduk berisi seruan Permesta. Bukan dengan fisik, melainkan lewat pidato.
“Waktu di Gedung Nasional itu ayah saya juga ikut. Karena dia pendek, dia setengah mati lihat Soekarno. Tapi yang dijelaskan makin lama Soekarno berpidato makin banyak orang, makin membludak. Di spanduk-spanduk tertulis ‘Sekali Permesta tetap Permesta’. Ada yang lain ‘Hidup Mati Bersama Permesta’,” kata Thariq.
“Yang menarik, kata ayah saya, pada saat berpidato, Soekarno bilang ‘Saudara-saudara sekalian, saya datang sebagai seorang ayah untuk melihat anak-anaknya, maka pantaskah anak-anak menjemput ayahnya dengan cara seperti ini? Gulung itu semua!’," kata Thariq.
"Jadi pas Soekarno bilang gulung, semua orang gulung (spanduk) sesuai tangannya berjalan. Itu pengalaman yang luar biasa untuk ayah saya,” kenang Thariq lagi.
Atribut Permesta bersih dari kawasan rapat raksasa. Soekarno menegaskan bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan kepunyaan Bung Karno, bukan kepunyaan Bung Hatta, bukan kepunyaan F.H Tobing, bukan pula kepunyaan Somba, tetapi kepunyaan seluruh Bangsa Indonesia.
“Di manakah Ibu Kota Republik Indonesia?” tanya Soekarno.
Rakyat yang tersulut pidatonya menjawab dengan suara bergemuruh, “Jakarta!” tulis BPCB dalam bukunya.
Setelah berhasil membersihkan embrio-embrio Permesta di Gorontalo siang itu, si Bung Besar lekas bertolak ke Manado. Empat ekor burung Maleo menjadi oleh-oleh spesial Soekarno dari Gorontalo.