Perempuan Melawan Tradisi: Nafas Perjuangan Kartini Masih Ada dalam Diri Risna Hasanudin
- Youtube KickAndy
VIVA Gorontalo – "Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajian pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, keluar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat."
Kutipan di atas merupakan surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899 silam yang termuat dalam buku Habis Terang Terbitlah Terang.
Surat tersebut menjadi awal perjuangan Kartini untuk perempuan agar memiliki hak yang sama dalam pendidikan.
Ratusan tahun kemudian, persoalan yang sama masih terjadi. Di Kampung Kobrey, Kabupaten Manokwari, Papua Barat, banyak perempuan dan anak-anak dari Suku Arfak yang putus sekolah karena faktor adat atau tradisi.
Suku Arfak merupakan penduduk asli terbesar di Kabupaten Manokwari. Perempuan Suku Arfak perempuan harus tunduk pada tradisi, di mana perempuan tidak perlu sekolah tinggi, cukup sampai kelas 3 SD.
Namun, ada satu perempuan yang berani melawan tradisi tersebut. Perempuan itu bernama Risna Hasanudin. Boleh dibilang Risna adalah penyambung nafas perjuangan Kartini.
Risna bukan perempuan asli Papua. Dia lahir di Banda Neira, Maluku, 1 Februari 1988.