'Berkas' Liburan ke Luwuk yang Tercecer Akhirnya Ditemukan
- Yakub Mianto Kau
Gorontalo – Liburan ke Luwuk menjadi periode paling berkesan bagi saya di tahun 2019. Meski harus mengorbankan rencana berlibur ke Banda Neira, saya tetap mendapatkan yang saya inginkan selama beberapa hari di sana.
Jauh sebelum 2019 meninggalkan bumi, Banda Neira telah mengisi kalender liburan saya. Salah satu tempat yang ingin saya kunjungi di sana adalah rumah bapak Proklamator Bangsa, Mohammad Hatta semasa pembuangan.
Namun, semua batal gara-gara seseorang. Rencana liburan bertema wisata sejarah itu menjadi perjalanan bertajuk menjemput tulang rusuk; spontan dan tanpa perencanaan yang rapi.
Tidak semua perjalanan saya di luwuk berhasil tercatat disini. Ada beberapa 'berkas' liburan yang tercecer. Itu semua karena bakat yang terpendam saya; pelupa. Kadang, ketika merasa sudah menemukan sesuatu yang wah, sesuatu yang wow otomatis hilang. Ketika saya terkesimak dengan pesona air terjun Kota Luwuk, saya seakan hilang ingatan, bahwa raga ini pernah berseru-seruan di atas bukit di Kota Luwuk tanpa sedikitpun rasa ragu.
Untungnya, beberapa postingan saya di facebook menjadi palu disaat saya lupa. Mengetuk kepala dan mengulik lagi berkas-berkas liburan yang tercecer. Syukurlah ada beberapa yang ditemukan.
Bukit Kasih Sayang
Dari atas bukit kasih sayang, pemandangan kota luwuk dimalam hari terhampar cantik di depan mata. Saya berharap mendulang kasih sayang yang nyata disini, tapi sayang, kasihnya hanya sebatas ekspektasi. Hihi
Bukit Teletubies
Warga setempat menamainya Bukit Teletubbies. Sebab kemiripannya dengan yang ada dalam serial TV kesukaan anak-anak dulu. Kawasan bukit ini semakin cantik oleh sebuah jalan kecil yang membelah dan melintang panjang ditengahnya.
Bukit Lenyek
Sepanjang perjalanan mencari lokasi bukit ini, saya menemukan banyak senyum. Senyum yang murah meriah, ramah dari warga sekitar. Sebuah savana cantik itu bernama bukit lenyek.
Konon katanya, Saat bukit dan rumputnya menghijau, bukit lenyek terlihat seperti sebuah bukit dan savana yang menghijau di negeri seberang Selandia Baru. Tapi pemandangan itu tak saya temuka saat berkunjung kesana, karena sedang musim kemarau. Sekalipun begitu, pemandangannya yang kering kecoklatan membuat saya serasa di Arab.
Sebenarnya, selain beberapa bukit tadi, masih ada beberapa tempat lagi yang saya datangi selama 72 jam berada di Kota Luwuk. Semuanya layak jadi catatan.
Misalnya, ketika menyaksikan Matahari yang terbenam syahdu di Pantai Kilo 5, merawat silaturrahmi di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Lalong, mencicipi tai tea milik teman saya Tari, dan nikmatnya ayam Geprek di depan Mesjid Agung Kota Luwuk.
Yang lalu biarlah berlalu. Masih ada kesempatan untuk mendulang cerita dan perasaan yang sama di waktu berbeda.