Tidak Semua Hal Bisa Dipaksa untuk Terus Diperjuangkan
- Pixabay
“Wis, cinta bukan seberapa lama kita bersama, tapi ke mana arah pastinya. Sekarang ente mau bikin apa? Ngutang di bank? Mencuri? Atau mau jadi koruptor? Ente mau jadi Bandung Bondowoso yang bisa bikin candi dalam semalam? Hidup sebenarnya itu bukan dimulai saat kita bisa memenuhi segala tetek bengek di pesta nanti. Hidup sebenarnya dimulai saat bangun pagi sesudah malam pertama. Saya sepakat dengan (cara berpikir) kamu.”
“Tapi?” tanya Darwis lebih serius.
“Tapi memaksakan diri itu tidak baik. Tidak semua di dunia ini bisa dipaksakan untuk kita perjuangkan. Ada saatnya kita memperjuangkan sesuatu cukup seadanya saja. Bukan berarti kalah. Tugas kita berikhtiar, hasilnya urusan Tuhan. Istirahat dulu. Kumpul lagi tenaga untuk sesuatu yang lebih pantas diperjuangkan!”
“Bagaimana kalau nanti saya di cap pacar tidak becus, nggak modal, PHP, atau apalah itu?” jawab Darwis lagi.
“Bung, sebaik apa kita di dunia, kita punya jatah bangsatnya di mata orang lain!”
“Februari sebentar lagi datang. Kalau benar dia terima pinangan orang lain, gimana?”
“Ya, diterima, diikhlaskan. Ikhlas itu berat, tapi mulia. Sehebat apapun kamu berjuang, kalau Tuhan bilang tidak, ya, tidak. Tapi sehebat apa kalian bertengkar terus berpisah, Tuhan punya 1001 cara untuk mempertemukan lagi. Lagipula, betapa ruginya orang yang merasa sedih karena seekor ikan tangkapannya lepas di tengah lautan.”
Darwis terdiam, meratapi kopi yang tandas di dasar gelas.