Pelaut Ulung dan Lika-liku Menggeluti Profesi Sebagai Pengepul Gurita
- Jalipati Tuheteru/JAPESDA
Sialnya, Puah Kelsi membeli tanpa melihat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam pemasaran gurita. Tentunya ia membeli gurita dalam jumlah besar dengan kualitas lokal dengan harga sesuai komersil. Akhirnya kerugian pun tak terhindarkan.
“Saya belum mengetahui cara melihat kualitas gurita, akhirnya saya bayar dengan harga yang cukup tinggi. Waktu itu harga gurita 65 ribu size A dan B, 50 ribu size C dan 30 ribu untuk size D. sedangkan kategori lokal bisa dibeli dengan harga 10 ribu sampai 15 ribu,” jelasnya awal menjalankan usaha pengepul gurita.
Waktu itu, Puah Kelsi menjual hasil pembelian gurita dari nelayan. Daeng Arif selaku bos dan tempatnya menyuplai gurita hasil pembelian dari nelayan, mengatakan bahwa semua gurita yang ia pasok ternyata gurita kualitas lokal.
Barang tentu ia kaget. Tanpa tahu berkata-kata. Menyesal pun tak berguna lagi. Sudah menyelam harus tetap menyelam walaupun merugi.
Kondisi yang membuat puah Kelsi terpojok itu tak bikin ia patah arah. Ia tetap melanjutkan apa yang sudah ia mulai. Walaupun merugi masih menjadi bayang-bayang yang mengintai usahanya setiap saat.
Lagi-lagi Daeng Arif menjadi pemecah kebuntuan dan sumber pengetahuan mengelola usaha. Banyak pelajaran yang didapatkan Puah Kelsi, baik menentukan ukuran dan menentukan harga gurita yang tepat.
Bencana itu membuat ia meningkatkan pengetahuan mengelola gurita, ia juga memberikan pemahaman kepada nelayan untuk menentukan gurita yang layak jual. Bagaimana memperlakukan gurita setelah ditangkap dan standar-standar kriteria gurita yang layak dijual dengan harga tinggi.
“Saya pun ikut menyampaikan ke mereka (nelayan) seperti apa kriteria gurita masuk kategori lokal atau tidak. dari berbagai pengalaman yang ada, saya terus berusaha dan belajar. Sehingga sampai saat ini saya masih tetap membeli gurita”.