Senja Kala Mantan Chef Hotel Bintang Lima di Warung Nasi Goreng Kaki Lima

Mas Wawan
Sumber :
  • Gorontalo VIVA

Gorontalo – Di depan dealer motor tidak jauh dari menara Limboto, tampak laki-laki berpakaian serba putih memakai tas kecil di pinggang. Wawan Samsuri (57) sibuk bolak-balik menata rapi peralatan masak dan bahan makanan di atas gerobak kecil berukuran 3x1 meter.

Tak Bisa Nonton PSIS Semarang di Stadion, Panser Biru Bikin Petisi

Warung makannya tidak menawarkan tempat luas berdesain kekinian. Teras dealer motor dijadikan tempat melayani pembeli. Lokasi ini memang tempatnya pedagang kaki lima menjamur. 

Di usianya yang sudah senja, Mas Wawan hanya dibantu satu orang anak buah melayani pembeli yang datang silih berganti setiap malam. 

Dari Hotel ke Hotel

Pemprov Gorontalo Dorong Pelaku UMKM Punya Sertifikasi Halal

Ada yang menarik dari mas Wawan Dulu dia bekerja sebagai seorang koki. Sejumlah restoran besar pernah mendapat servis laki-laki yang mahir bahasa Jepang ini.  

“Jadi pertama saya kerja itu tahun 1985 di Hotel Horison Ancol Jakarta, di outlet Japanese restaurant atau Okoh Japanese restaurant. Dia di bawah naungan hotel, karena hotel bintang lima mencakup keseluruhan,” kata mas Wawan.

Ditanya Soal UMKM, Prabowo Sempat Terdiam

“Malah sekarang kalau mau foto-foto, baju kokinya masih ada!” lanjut mas Wawan.

Ilmu masak memasak dia dapatkan dari bangku sekolah, meski tidak lama. Hanya berkisar dua tahun, lalu berhenti. Selebihnya autodidak sampai bisa ikut training di outlet Japanese restaurant Hotel Horison Ancol, Jakarta (sekarang Hotel Mercure Convention Centre).

“Kebetulan waktu itu tetangga saya supervisor coffee shop di hotel. Dia liat saya setelah berhenti sekolah, kan beberapa bulan nganggur, lalu diajak kerja. Pertama masuk saya di schwarzer. Hanya hitungan bulan, terus bos lihat akhirnya diangkat di restoran Jepang.”

“Karena saya waktu itu masih nol, saya training dulu tiga bulan. Lulus, baru masak. Di Horison Jakarta saya sampai 1997.”

12 tahun memasak untuk tamu Hotel Horison Ancol, mas Wawan memilih resign dan mengadu nasib di hotel lain. Aktivitasnya masih sama, bergelut dengan masakan Jepang. Namun, pekerjaannya sering terganggu jarak rumah yang terlalu jauh dari hotel ditambah macetnya ibukota. Mundur jadi pilihan ketika jarak dan macet tak bias dikompromi. Tidak butuh waktu lama tawaran datang lagi masih dari hotel  Jakarta.

“Setiap saya pindah selalu naik tingkat. Posisi saya dulu masih Demi Chef langsung Chef de Partie. Kan, ada tahap-tahapnya.”

Kepiawaiannya memasak tidak berhenti di Jakarta. Tawaran demi tawaran membawanya terbang ke Medan, Palembang, dan Lampung. Hingga tahun 2014, Lampung menjadi dapur terakhir mas Wawan menggelar food attraction, menuai cuan, dan decak kagum para tamu.

“Yang paling berkesan itu di Medan. Di sana orang makannya luar biasa. Masak saja saya sampai kewalahan. Waktu itu saya juga pegang teppanyaki. Paling senang kalau masak, saya ada atraksi. Ada tamu-tamu Korea, China, saya kasih api sedikit langsung ‘duaaarr’. Senangnya disitu, terus dapat uang tip.” 

Mas Wawan mengenakan baju koki

Photo :
  • Gorontalo VIVA

 

Kegagalan

Ada semacam tradisi, jika mantan chef hotel bintang lima makin tua makin jadi, makin tua makin dicari, dan kebanyakan dari mereka memilih dapur kapal pesiar sebagai tujuan. Tradisi itu juga diakui mas Wawan. Karena umurnya yang sudah memasuki usia senja, dia memilih jalannya sendiri: membangun usaha bersama istri. Gorontalo jadi tujuannya.

Perantauan mas Wawan ke Gorontalo tak semanis 29 tahun perjalanannya dari dapur ke dapur hotel bintang lima. Usaha yang dirintis bersama sang istri harus kandas seiring tandasnya bahtera rumah tangga.

“Saya waktu itu ikut sama istri ke Gorontalo. Istri saya orang Jawa juga. Karena jalan pikirannya beda, tidak sinkron, jadi masalah, bakalae (berantem) juga.” 

Tak ingin tenggelam lebih dalam, dia pindah ke halaman parkir gerai Alfamart (samping PLN Limboto) dan berhasil membangun iklim ekonomi yang bagus. Diputuskanlah membangun rumah setelah memperoleh tambahan modal dari kampung. 

Secara perlahan rumahnya rampung. Usaha yang berhasil ditata pindah lagi ke rumah. Tapi apa mau dikata, pagebluk Covid-19 yang melanda Gorontalo malah menyumbang kegagalan lagi untuknya.

“Waktu pandemi pelanggan hilang sedikit demi sedikit sampai tutup. Penghasilan sih, ada, cuma tidak memenuhi syarat, tidak sesuai biaya belanja. Trus mau diputar lagi jadi bingung saya.”

29 tahun bukan waktu sebentar bagi mas Wawan membentuk pribadi bermental baja. Dia masih terlalu kuat meski tersapu pelik dan paceklik luar biasa. Prinsip hidupnya sederhana; disiplin, ulet, dan kerja keras.

Salah satu makanan favorit pelanggan di warung Mas Wawan adalah nasi goreng Gaga. Gaga dalam bahasa setempat berarti enak. Karena rasa nasi goreng gaga segaga namanya, pelanggan selalu menyerbu warungnya setiap malam.

“Kenapa saya tidak kasih nama saja nasi goreng jancok atau nasi goreng Thailand? Karena dalam bahasa Gorontalo, gagah atau gaga itu instingnya memancing rasa penasaran. Ternyata menarik juga, menarik orang untuk coba-coba. Dari coba-coba, ternyata memang pas.” 

Suasana malam di warung nasi goreng gaga Mas Wawan

Photo :
  • Gorontalo VIVA

 

Meski kaki lima, nasi goreng gagah punya rasa hotel bintang lima. Walaupun warungnya sempit, mas Wawan punya pengetahuan yang luas soal hospitality. Pun dengan resepnya yang diracik menggunakan cooking metode standar hotel bintang lima dengan seni plating makanan yang sederhana tapi menggiurkan.

“Resepnya racik sendiri, tidak instan. Isinya simple, tapi alhamdulillah, taste-nya gagah. Sebenarnya, semua orang itu bisa masak nasi goreng, hanya kurang paham cooking metode-nya. Kalau paham, insyaallah nasi gorengnya enak.”