Berhasil Menantang Stigma, Mimpi Tukang Ojek Pinogu Setelah Jadi Anggota Polri
- Yakub / VIVA Gorontalo
VIVA Gorontalo – Hampir tidak ada yang berubah dalam diri Ismet Abdullah. Polisi berpangkat Brigadir dua (Bripda) asal Pinogu, Bone Bolango itu masih setia dengan pekerjaannya yaitu tukang ojek. Sehari-harinya, Ismet bertugas di kesatuan Brimob Polda Gorontalo.
Setiap Sabtu dan Minggu dia beralih profesi dari polisi ke tukang ojek. Kalaupun masih ada waktu setelah bebas piket di hari lain, motor metiknya pasti sudah menunggu penumpang di pangkalan. Pekerjaan satu ini sudah dianggap hobi.
Ismet bercerita profesi tukang ojek digeluti sejak masih smp. Saat itu penghasilan dari membawa penumpang melewati jalur ekstrim Pinogu di bagi dua dengan empunya motor. Sisanya dipakai membantu perekonomian keluarga. Setelah punya modal, Ismet membeli motor sendiri.
Bisa dikatakan profesi tukang ojek inilah yang mengantarkan Ismet memikul pangkat dua bengkok di pundaknya. Di tahun 2017 anak bungsu dari enam bersaudara itu sempat gagal tes kepolisian. Kegagalan yang disadari menambah tajam stigma masyarakat sekitar bahwa anak-anak di Pinogu sulit berkembang.
Namun, stigma yang menempel dalam diri anak-anak di kampungnya justru menjadi bahan bakar berjenis tekad kuat, bukan dendam. Setahun kemudian, Ismet berhasil membantah stigma itu. Dia dinyatakan lulus dengan nilai tinggi. Kendati demikian, tidak kepikiran untuk menanggalkan status tukang ojek.
Dia sadar betul tukang ojek bukan cuma membuatnya berhasil mengantarkan penumpang ke tempat tujuan, tetapi juga mengubah nasib yang semula sesulit medan Pinogu, menjadi lebih baik seperti sekarang ini.
“Sampai hari ini saya ngojek. Kalau lepas piket atau tidak ada pekerjaan kantor pasti saya ngojek. Banyak yang tanya kenapa masih ngojek atau mau diapain lagi duit, tapi itu (ngojek) hobi saya. Saya jadi polisi itu berkat ngojek. Sama sekali tidak ada (gengsi),” ujarnya.
Melawan stigma
Pada kegagalannya yang pertama, Ismet sempat dilabeli ‘polisi tidur’. Artinya, dia tidak punya sisi jadi polisi kecuali polisi tidur. Itu lantaran kondisi di sekitarnya jauh dari yang namanya sejahtera baik dari ekonomi dan pemikiran. Bukan itu saja, di mata orang untuk menjadi polisi perlu persediaan materi yang cukup. Keresahan ini bahkan muncul dari mulut ibunya sendiri.
Ibunya yang sempat punya usaha warung kecil-kecilan meragukan keputusannya mendaftar ulang polisi. Seakan kegagalan di awal masih membungkus perasaannya, ditambah kondisi ekonomi keluarga yang kurang mampu.
Bagi Ismet stigma maupun keresahan tersebut bukan liang lahat untuk mengubur mimpi. Penghasilan dari tukang ojek dipakai mengurus segala keperluan pendaftaran Polri. Ibunya cuma punya modal doa mengantarnya ke gerbang Polda Gorontalo membawa berkas.
“Orang tua mendukung, tapi karena ada isu-isu (masuk polisi) harus ada uang makanya saya kasi yakin, tenang saja. Untuk urus pendaftaran, mulai dari foto copy administrasi dan lain-lain, itu saya ngojek,” katanya.
Ismet bercerita, suatu hari Bhabinkamtibmas di kampung meneleponnya. Dia diberitahu bahwa ada rombongan Polda Gorontalo ke Pinogu. Mereka butuh tukang ojek dan pemandu. Melihat ada peluang, Ismet menerima tawaran tersebut.
Di perjalanan dia ditanyai apakah tidak berkeinginan menjadi anggota Polri. Lantas di menceritakan kegagalannya dulu. Kesempatan ini benar-benar digunakan Ismet untuk memuluskan mimpinya menjadi anggota Polri. Namun, bukan karena ada ‘orang dalam’ lantas profesi tukang ojek dia lupa.
Pernah suatu hari motor ojeknya rusak di tengah jalan. Ismet tak tahu harus berbuat apa kecuali mengadu ke ibunya. Tahu kondisi ibunya yang belum bisa membantu, dia terpaksa menginap di jalan.
“Mama cuma bilang waktu itu ‘kalau bapakmu masih hidup, mungkin kamu tidak jadi tukang ojek.’ Orang tua saya tidak bisa menghasilkan apa-apa. Bapak (sudah meninggal) saya tidak sempat lihat.”
Saat mengantar rombongan Polda Gorontalo, dirnya tak cuma mendapat masukan. Seorang perwira tinggi di Polda Gorontalo, yang juga penumpangnya itu, meminjamkannya motor untuk mengurus keperluan pendaftaran. Semua usahanya membuahkan hasil. Ismet dinyatakan lulus sebagai anggota Polri.
Sebelum itu, dia sempat meminta ibunya untuk menghadiri pengumuman layaknya peserta ujian lain. Namun, lagi-lagi karena tak punya sewa ojek, ibunya menolak. Biaya ojek dari Pinogu ke pusat kota sebesar Rp500 ribu hingga Rp750 ribu ditambah durasi perjalanan yang jauh, membutuhkan waktu 7-8 jam.
“Saya jemput ibu dulu,” katanya.
Di perjalanan, ibunya masih tidak yakin anak yang ditinggal bapaknya diusia tiga bulan itu bisa lulus. Namun, Ismet tetap meyakinkan ibunya bahwa semua keresahan dan stigma itu hanya bualan. Setelah tahu anaknya lulus, ibunya terdiam. Air mata yang lewat di pipi menjadi tanda rasa bangga. Ismet, anak bungsunya, si tukang ojek, berhasil memutus stigma, membuat nyata mimpinya.
“Ibu tidak bisa berkata apa-apa, tapi langsung menangis, tidak terkira saya lulus. Dia tidak sampai kesana pikirannya karena dia tahu masuk polisi itu harus ada uang,” katanya.
“Tidak sangka saya jadi polisi karena di keluarga ini, dari 6 bersaudara, hanya saya yang bisa jadi polisi, lima orang ini lulus SMP saja tidak ada,” lanjutnya.
Ismet tak ingin menanggalkan profesinya yang dulu. Kadang orang sering menganggapnya serakah lantaran punya gaji tinggi dan tunjangan besar, masih saja nyambi sebagai tukang ojek. Mereka yang bilang seperti itu, kata dia, tidak tahu persis bagaimana perjalanannya sebelum itu.
Statusnya kini memang bikin orang segan menumpang di motornya. Kendati begitu, ia tetap saja mau menjalaninya. Tukang ojek tidak sekadar hobi yang dibayar baginya, tetapi hobi yang membuat stigma orang terhadap polisi dan masyarakat Pinogi perlahan bubar.
“Saya yakin bahwa usaha tidak akan menghianati hasil,” katanya.
Mimpi ke depan
Ismet yang sekarang dipanggil ‘komandan’ di kampungnya itu sempat putus sekolah. Terpaksa mengakhiri sekolah lantaran tuntutan ekonomi. Di kepalanya hanya ada perintah bagaimana mendapatkan uang agar bisa makan, bukan untuk sekolah. Maka, di kelas 3 dia putuskan untuk gantung sepatu.
Salah satu gurunya pernah memintanya untuk bersekolah lagi, kalau perlu dibiayai, tapi ditolaknya mentah-mentah. Ia yakin punggung kecilnya lebih berguna memanggung barang, kayu bakar, hingga rotan untuk dijual ke tetangga daripada menenteng ransel berisi buku catatan.
“Dulu pemikiran saya daripada sekolah tidak bisa makan, mending cari makan (cari uang) terus tidak usah sekolah,” ungkapnya.
Satu waktu pikirannya berubah. Dia putuskan mengenakan kembali seragam sekolah. Lulus sd dia memutuskan tinggal bersama guru yang sempat ingin mengasuhnya. Disinilah petualangan Ismet sebagai tukang ojek dimulai.
“Waktu SMP masih belajar naik motor setelah bisa, saya mulai ngojek. Pinjam motor orang hasilnya dibagi dua,” kata Ismet.
Berangkat dari pengalamannya, Ismet ingin anak-anak di kampungnya mulai membangun kesuksesan sejak dini. Keberadaannya di sana harus menjadi bahan bakar yang sama. Tak peduli sejauh apa pembangunan dan pendidikan di kampungnya tertinggal.
Untuk mengikis habis situasi di kampungnya sekarang bukan perkara sebelah mata. Pertama infrastruktur di Pinogu harus mendekati kata layak. Mulai dari transportasi hingga gedung pelayanan publik seperti pos polisi sangat dibutuhkan di sana.
Mengapa tidak, selain pendidikan yang belum berjalan bagus karena banyaknya anak putus sekolah, di kampungnya belum beridiri Polsek, atau setidaknya pos polisi.
“Kalau orang kampung tahu saya mau ke Pinogu mereka tunggu saya di rumah. Banyak masalah yang ingin mereka konsultasikan. Nah, kalau saya tidak di sana, kebanyakan mereka telepon,” ungkapnya.
Selain itu, sejak menjadi polisi, Ismet rutin melatih PBB di sekolah karena background-nya seorang Paskibraka. Menurutnya anak muda di Pinogu tidak ada bedanya dengan anak muda di perkotaan. Kesempatan menjadi polisi atau Paskibraka, atau apapun itu yang bisa mengangkat mereka dari keterpurukan terbuka luas. Dia tak ingin menjadi anak muda terakhir asal Pinogu yang berhasil sementara yang lain tetap berkubang dalam ketertinggalan.
“Kalau saya lihat di sana itu harusnya sudah berkembang, tapi sekarang belum. Dari saya ngojek belum jadi polisi, sampai jadi polisi masih juga ngojek perkembangan itu lambat. Masyarakat di sana jarang lihat polisi, kalau saya ke Pinogu mereka sudah menunggu di rumah.”
“Di sana banyak anak-anak, saya sering ajak mereka jadi polisi. Mereka generasi baru tidak boleh dibiarkan. Bukan juga menyepelehkan, mereka tidak bisa selamanya begini-begini terus. Sempat saya rutin kunjungi sekolah-sekolah, melatih PBB. Saya eks Paskibraka juga. Saya ingin setiap tahun ada warga Pinogu yang jadi perwakilan (Paskibraka).”