Tentang Yayat: Pulang Terlanjur Cinta Tak Pulang Rindu

Yayat melayani pembeli anak-anak
Sumber :
  • Gorontalo VIVA

Gorontalo – Malam sudah setengah peraduannya. Sebagian orang telah membenamkan letih dari setumpuk pekerjaan ke dalam mimpi atau pelukan keluarga, sedangkan Yayat (29), masih antusias melayani anak kecil yang memesan 4 bungkus pentol

Tak Bisa Nonton PSIS Semarang di Stadion, Panser Biru Bikin Petisi

Selepas itu, Yayat segera mencuri waktu istrahat. Duduk sembari menyandarkan tubuh di pagar bersama keringat dan minyak di wajah tersapu cahaya lampu temaram. 

Yayat adalah seorang perantau dari Provinsi Banten. Anak sulung dari tiga bersaudara ini sudah tujuh tahun mengalami pasang surut kehidupan di Gorontalo. 

Pemprov Gorontalo Dorong Pelaku UMKM Punya Sertifikasi Halal

Profesi penjual pentol sudah dia jalani hampir tiga tahun belakangan. Bersama motor yang dimodifikasi mirip motor pak pos; punya kantong besar di sisi kanan dan kiri bodi motor, pentol-pentolnya dibawa berkeliling sebagian Limboto-Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo dari sore hingga malam.

Sebagian besar sadel motornya telah terpakai membonceng kantong tersebut. Hanya tersisa bagian kecil untuk tempat duduk agar tetap nyaman menyapa pelanggan menggunakan sebuah botol yang menggantung di setir kiri motor. Dipukul pakai sendok sehingga menghasilkan bunyi dan ritme, yang khas.

Ditanya Soal UMKM, Prabowo Sempat Terdiam

Malam itu, Yayat berhenti di salah satu sudut perempatan Jalan Brigjen Piola Isa, Kelurahan Hunggaluwa, Kecamatan Limboto. Bersebelahan dengan depot air minum. Itulah titik terakhir menggalang rupiah sebelum pulang membawa untung atau berita kurang beruntung untuk anak dan istri di rumah.

Terbang ke Gorontalo

Yayat bercerita, pada tahun 2013 dia rajin bertukar pesan dengan perempuan Gorontalo bernama Elan, kenalannya di Facebook. Hampir setahun bercerita hanya lewat udara, tidak disangka pesan-pesan yang awalnya biasa menjadi sarana melarungkan perasaan cinta dan hasrat ingin berjumpa.

Gorontalo bagaikan lanskap alam berwarna hitam pekat di pikirannya. Tidak ada satu pun pengalaman, bahkan pengetahuan yang bakal menuntunya dalam ekspedisi menemui kekasih idaman. 

“Pokoknya dipikiran itu, (Gorontalo) hitam semua!” 

Meski begitu, dia berusaha mengenyampingkan rasa bimbang. Tahun 2014, kesempatan terbang ke Gorontalo tercapai, sekaligus menorehkan sejarah baru dalam hidup; untuk pertama kali pergi merantau. Uang tabungan jadi korban, pekerjaan di kampung dia tinggalkan, pun cita rasa kekeluargaan dan persahabatan di kampung dia tanggalkan.

“Pamitnya ke bapak saja. Bilangnya mau cari kerja dan mau ketemu Elan. Teman-teman dan saudara-saudara di kampung tidak saya beritahu.” 

“Saya kesini bawa uang satu juta setengah. 1 juta buat tiket pesawat, 500 ribu untuk biaya hidup. Itu tabungan saya di kampung. Mumpung ada tabungan, kan? Baju saja, saya hanya bawa tiga lembar, celana dua.” Yayat melanjutkan cerita sambil terkekeh-kekeh mengingat betapa besar tekad dia kala itu.

Tiba pukul 19.00 Wita, kesan pertama Yayat  di Gorontalo adalah sunyi. Sebuah tiang besar penopang atap bandara jadi saksi bisu, bagaimana seorang anak laki-laki dari kota Debus sedang kebingungan. Tanpa siapa-siapa, menerka-nerka ke mana arah selanjutnya, layaknya belajar peta buta.

Yayat lekas memberitahu Elan bahwa 3 jam perjalanan Banten-Jakarta naik mobil ditambah 1.5 jam penerbangan Jakarta-Gorontalo berjalan lancar tanpa hambatan. Tidak lama, Elan datang. Niat hati menjemput, Elan malah disusupi rasa ragu, dan nyaris membuat Yayat kehilangan kesempatan. 

Namun, tanpa dia sadari, Elan telah membuat sebuah kesalahan. Di rumah, ibunya Elan mengalami kekalutan teramat hebat karena mengetahui anak perempuannya pergi tanpa permisi menjemput seorang laki-laki.

Begitu tiba di rumah, Yayat langsung disambut suara kekesalan. Telunjuk ibunya Elan berkali-kali mengantar kata-kata yang sulit dipahami. Yang bisa dilakukan hanya diam, walaupun dia sadar sedang diceramahi. Semua kekalutan sirna di meja makan. Yayat patut bersyukur, daerah yang dianggap lanskap alam berwarna hitam pekat tetap memberinya tempat beristirahat.

Pagi datang, rasa ragu keluarga maupun rasa penasaran tetangga menjejal pagi pertama Yayat di Gorontalo. Di tengah kerumunan wajah-wajah baru, dia diadili lagi dengan bahasa-bahasa yang terdengar aneh di telinga. Bagaikan orang asing tertangkap masuk wilayah perbatasan diam-diam dan diminta segera pulang. 

“Pagi-pagi, keluarga semua sudah pada kumpul. Malah, ada saudaranya Yali (Ibunya Elan) minta saya cepat pulang. Takutnya (hubungan) ini tidak jadi. Seperti pengalaman-pengalaman orang sini. Apalagi kalau cowoknya dari Jawa.”

Bekerja banting setir 

Pekerjaan pertamanya di Gorontalo adalah buruh lepas di percetakan batu bata milik Ayahnya Elan. Inisiatif datang kala rasa bosan menghantuinya di rumah.

Sepekan jadi tamu di rumah Elan, tidak mungkin bagi Yayat tinggal lebih lama. Karena tidak punya satu pun kenalan selain Elan yang bisa memberinya tumpangan rumah, sebuah masjid dipilih untuk bernaung sementara. 

Semua aktivitas dia lakukan di masjid. Dia juga menyapu masjid, mengepel lantai, jadi muazin, jadi imam, dan mengajar mengaji. Sampai-sampai, jemaah sekitar mengangkatnya jadi marbot.  

Dua bulan tinggal di masjid, biaya hidup dari kampung menipis. Tapi syukur dia diterima menjadi karyawan di salah satu mini market, meski harus pergi-pulang kerja jalan kaki. Masalah sebenarnya datang  tatkala jiwa nekat merantau Yayat dicegat rasa sunyi. Raga berlapis tekad baja terkulai di tengah pandemi rasa rindu yang makin kritis.

“Saya sempat berpikir, kanapa ya, saya tiba-tiba ada disini? Rindu kampung halaman, rindu keluarga, rindu bapak, rindu teman-teman di kampung. Pokoknya seperti dikarantina sendiri.” 

Beruntung ada Elan. Ibarat vaksin yang menguatkan imun, Elan berhasil menyudahi rasa rindu dari bilik karantina, dan misi perantauan kembali aman. 

“Elan yang kasih saya semangat terus.”

Yayat bercerita, Tahun 2015 atau setelah resign dari mini market, dia melamar jadi karyawan depot. Ibu Pei menerima lamaranya dengan gaji bulanan sebesar Rp600 ribu. Kemudian naik jadi Rp 750 ribu hingga setara modal awal dari kampung. 

Selagi lumayan cukup, sebagian penghasilan dipakai membayar arisan yang dikelola Ibu Pei setiap bulan. Setelah menunggu lama, akhirnya setoran tiap bulan berbuah keuntungan. Yayat menang arisan, kemudian dengan berani mengajak Elan ke pelaminan. 

“Ibunya bilang lebih cepat lebih bagus. Tapi, pas saya beritahu bapak di kampung, bapak bilang sabar dulu.” 

Baginya, depot bukan sekedar tempat bekerja. Antara Yayat dengan ibu Pei tidak ada batasan karyawan dan majikan. Ibu Pei sudah dianggap orang tua yang memberinya nafas panjang di tanah rantau. Bahkan setelah restu sang bapak datang, ibu Pei mengambil peran sebagai wali nikah Yayat.

“Nanti akad-resepsi, bapak dan saudara dari kampung datang. Ada 7 orang. Hampir seminggu disini. Tinggal di rumah ibu haji (panggilan Yayat untuk ibu Pei) juga. Pokoknya ibu haji itu sudah kayak orang tua sendirilah.”

Baik sebelum dan sesudah menikah, total tiga tahun lebih Yayat berstatus anak sekaligus karyawan ibu Pei hingga memutuskan berhenti bekerja. Dia merintis jalan usaha sendiri. Sebidang tanah berukuran kecil depan rumah mertua dipakai untuk membuka warung bakso. 

Dua bulan berjalan, usaha warung bakso laris. Padahal, dia tidak punya pengalaman di bidang kuliner. Sedikit demi sedikit keuntungan disisipkan sampai bisa beli motor. Akan tetapi di bulan ketiga usaha mendadak lesu. Warung bakso ditinggal peminat, pendapatan pun tak lagi memikat. 

Yayat harus memutar otak. Banting setir satu-satunya jalan keluar. Dia sadar bukan laki-laki yang tidak punya siapa-siapa lagi di tanah rantau. Ada satu nyawa yang harus dihidupi. Tidak cukup berpelukan saja untuk menghapus kegagalan. Apalagi bersandar ke orang tua.

Bermula dari saran istri, “setir” baru coba dibangun. Motor yang dibeli dari hasil warung bakso akan dipakai turun ke jalan berjualan pentol. 

Mula-mula, Yayat belajar membuat pentol dari Nanang, saudara Elan yang sudah lama menjual pentol dan memiliki banyak pelanggan. Di mata Nanang, dia tidak dianggap calon kompetitor. Nanang malah tampil sebagai tutor yang mentransfer spirit dan ilmu bagaimana cara mendapat pelanggan.  

“Awalnya malu. Pasti malu. Tapi namaya kerja, kan? Awal-awal susah sekali cari pelanggan. 50 ribu saja susah dapatnya.” 

Meski sempat banting setir ke “setir” lain, Elan tidak pernah mengukur pekerjaan suaminya dari kacamata materi. Pesan-pesan yang dulu melarungkan perasaan cinta berganti doa agar Yayat pulang dengan selamat. Begitu juga Yali, Banyak dorongan berupa doa dan nasihat mengiringi usaha si menantu. 

“Mama itu selalu kasih nasihati, jangan lupa salat lima waktu, salat malam, dan berdoa.” 

Biar hujan tetap jualan

Photo :
  • Gorontalo VIVA

Pulang Terlanjur Cinta Tak Pulang Rindu

Menjadi manusia berdikari dengan segala macam konsekuensi di tanah rantau sudah Yayat rasakan. Besarnya tekad merantau seakan menegaskan: bahwa dia ingin memiliki kehidupan sendiri dan tidak ingin begitu terikat dengan keluarga, sekalipun tidak lahir dari keluarga perantau.

Yayat hanya satu dari sekian banyak perantau di Gorontalo. Bagi mereka, pulang menjadi periode sakral yang tidak boleh dihilangkan. Yayat hanya mengalami periode sakral itu tiga kali sampai sekarang. Pernah berencana membawa Elan tinggal di Banten, tapi gagal. 

“Dulu bilang ke mama kalau mau tinggal di sana (Banten) saja. Mau cari kerja di sana. Tapi tidak boleh. Mungkin karena Elan anak perempuan satu-satunya.” 

Gorontalo terlalu baik karena menjadikannya “sesuatu” di tanah rantau. Banten juga sama, telah lebih dulu baik memberi dia izin pergi bertemu orang-orang yang membuatnya terlanjur cinta.

Di Banten pula, laki-laki yang mengantarnya dengan setumpuk doa dan nasihat sedang menikmati senja di musim rindu yang hampir sewindu. Dia adalah bapaknya Yayat yang selalu memintanya kembali pulang membawa menantu dan cucu tercinta. 

“Namanya juga orang tua, bapak juga pasti rindu. Mungkin karena sendiri. Bapak pengen sekali ketemu adek. Maunya adek tinggal di sana, sekolah di sana,  apalagi cucu pertama.”