Berhasil Menantang Stigma, Mimpi Tukang Ojek Pinogu Setelah Jadi Anggota Polri
- Yakub / VIVA Gorontalo
Ismet yang sekarang dipanggil ‘komandan’ di kampungnya itu sempat putus sekolah. Terpaksa mengakhiri sekolah lantaran tuntutan ekonomi. Di kepalanya hanya ada perintah bagaimana mendapatkan uang agar bisa makan, bukan untuk sekolah. Maka, di kelas 3 dia putuskan untuk gantung sepatu.
Salah satu gurunya pernah memintanya untuk bersekolah lagi, kalau perlu dibiayai, tapi ditolaknya mentah-mentah. Ia yakin punggung kecilnya lebih berguna memanggung barang, kayu bakar, hingga rotan untuk dijual ke tetangga daripada menenteng ransel berisi buku catatan.
“Dulu pemikiran saya daripada sekolah tidak bisa makan, mending cari makan (cari uang) terus tidak usah sekolah,” ungkapnya.
Satu waktu pikirannya berubah. Dia putuskan mengenakan kembali seragam sekolah. Lulus sd dia memutuskan tinggal bersama guru yang sempat ingin mengasuhnya. Disinilah petualangan Ismet sebagai tukang ojek dimulai.
“Waktu SMP masih belajar naik motor setelah bisa, saya mulai ngojek. Pinjam motor orang hasilnya dibagi dua,” kata Ismet.
Berangkat dari pengalamannya, Ismet ingin anak-anak di kampungnya mulai membangun kesuksesan sejak dini. Keberadaannya di sana harus menjadi bahan bakar yang sama. Tak peduli sejauh apa pembangunan dan pendidikan di kampungnya tertinggal.
Untuk mengikis habis situasi di kampungnya sekarang bukan perkara sebelah mata. Pertama infrastruktur di Pinogu harus mendekati kata layak. Mulai dari transportasi hingga gedung pelayanan publik seperti pos polisi sangat dibutuhkan di sana.