Tentang Yayat: Pulang Terlanjur Cinta Tak Pulang Rindu
- Gorontalo VIVA
Begitu tiba di rumah, Yayat langsung disambut suara kekesalan. Telunjuk ibunya Elan berkali-kali mengantar kata-kata yang sulit dipahami. Yang bisa dilakukan hanya diam, walaupun dia sadar sedang diceramahi. Semua kekalutan sirna di meja makan. Yayat patut bersyukur, daerah yang dianggap lanskap alam berwarna hitam pekat tetap memberinya tempat beristirahat.
Pagi datang, rasa ragu keluarga maupun rasa penasaran tetangga menjejal pagi pertama Yayat di Gorontalo. Di tengah kerumunan wajah-wajah baru, dia diadili lagi dengan bahasa-bahasa yang terdengar aneh di telinga. Bagaikan orang asing tertangkap masuk wilayah perbatasan diam-diam dan diminta segera pulang.
“Pagi-pagi, keluarga semua sudah pada kumpul. Malah, ada saudaranya Yali (Ibunya Elan) minta saya cepat pulang. Takutnya (hubungan) ini tidak jadi. Seperti pengalaman-pengalaman orang sini. Apalagi kalau cowoknya dari Jawa.”
Bekerja banting setir
Pekerjaan pertamanya di Gorontalo adalah buruh lepas di percetakan batu bata milik Ayahnya Elan. Inisiatif datang kala rasa bosan menghantuinya di rumah.
Sepekan jadi tamu di rumah Elan, tidak mungkin bagi Yayat tinggal lebih lama. Karena tidak punya satu pun kenalan selain Elan yang bisa memberinya tumpangan rumah, sebuah masjid dipilih untuk bernaung sementara.
Semua aktivitas dia lakukan di masjid. Dia juga menyapu masjid, mengepel lantai, jadi muazin, jadi imam, dan mengajar mengaji. Sampai-sampai, jemaah sekitar mengangkatnya jadi marbot.
Dua bulan tinggal di masjid, biaya hidup dari kampung menipis. Tapi syukur dia diterima menjadi karyawan di salah satu mini market, meski harus pergi-pulang kerja jalan kaki. Masalah sebenarnya datang tatkala jiwa nekat merantau Yayat dicegat rasa sunyi. Raga berlapis tekad baja terkulai di tengah pandemi rasa rindu yang makin kritis.