Tentang Yayat: Pulang Terlanjur Cinta Tak Pulang Rindu
- Gorontalo VIVA
Baik sebelum dan sesudah menikah, total tiga tahun lebih Yayat berstatus anak sekaligus karyawan ibu Pei hingga memutuskan berhenti bekerja. Dia merintis jalan usaha sendiri. Sebidang tanah berukuran kecil depan rumah mertua dipakai untuk membuka warung bakso.
Dua bulan berjalan, usaha warung bakso laris. Padahal, dia tidak punya pengalaman di bidang kuliner. Sedikit demi sedikit keuntungan disisipkan sampai bisa beli motor. Akan tetapi di bulan ketiga usaha mendadak lesu. Warung bakso ditinggal peminat, pendapatan pun tak lagi memikat.
Yayat harus memutar otak. Banting setir satu-satunya jalan keluar. Dia sadar bukan laki-laki yang tidak punya siapa-siapa lagi di tanah rantau. Ada satu nyawa yang harus dihidupi. Tidak cukup berpelukan saja untuk menghapus kegagalan. Apalagi bersandar ke orang tua.
Bermula dari saran istri, “setir” baru coba dibangun. Motor yang dibeli dari hasil warung bakso akan dipakai turun ke jalan berjualan pentol.
Mula-mula, Yayat belajar membuat pentol dari Nanang, saudara Elan yang sudah lama menjual pentol dan memiliki banyak pelanggan. Di mata Nanang, dia tidak dianggap calon kompetitor. Nanang malah tampil sebagai tutor yang mentransfer spirit dan ilmu bagaimana cara mendapat pelanggan.
“Awalnya malu. Pasti malu. Tapi namaya kerja, kan? Awal-awal susah sekali cari pelanggan. 50 ribu saja susah dapatnya.”
Meski sempat banting setir ke “setir” lain, Elan tidak pernah mengukur pekerjaan suaminya dari kacamata materi. Pesan-pesan yang dulu melarungkan perasaan cinta berganti doa agar Yayat pulang dengan selamat. Begitu juga Yali, Banyak dorongan berupa doa dan nasihat mengiringi usaha si menantu.
“Mama itu selalu kasih nasihati, jangan lupa salat lima waktu, salat malam, dan berdoa.”